Oleh : Mu’arif *
Di sela-sela perbincangan panjang dengan ketua Presidium Pusat Himas Saudara Minhajul abidin saat beliau berkunjung ke surabaya dalam rangka peresmian PW Himas Surabaya, saya pernah mengusulkan begini; himas harus melakukan pengkaderan sebagai transformasi ide dan wawasan (wawasan kei-Islaman, ke-umatan, ke-pulauan, serta wawasan ke-himasan) sekaligus sebagai proses regenerasi dan kesinambungan masa depan himas itu sendiri. Ada dua alasan yang menjadikan saya memberanikan diri mengusulkan itu. Pertama, alasan ideal dan faktual. Secara ideal, dalam sebuah organisasi pergerakan-apapun namanya pengkaderan atau kaderisasi adalah jantungnya organsasi. Estafet perjuangan harus ada yang meneruskan agar tidak terhenti sampai batas masanya, kader-keder selanjutnya itulah yang harus meneruskannya. Kedua, secara faktual, bahwa himas mempunyai banyak sekali potensi-potensi yang dimiliki anggotanya, jika potensi-potensi itu tadi dibiarkan dan tidak dipupuk serta diarahkan, dikhawatirkan potensi-potensi yang dimiliki itu secara perlahan akan “mati muda”. Kedua alasan inilah yang “menggelisahkan” saya dan harus segera dijawab oleh keluarga besar himas, dan alumni himas itu sendiri.
Setiap individu maupun masyarakat senantiasa hidup dan dihidupi oleh ide dan gagasan, dan imajinasi. Setiap anak terlahir dan tumbuh dalam asuhan budaya, dan sebagian dari anak-anak manusia ada yang memberikan kontribusi pengembangan budaya, namun ada pula yang merusak warisan dan tatanan budaya. Dalam kaitan ini, peran orang tua dan guru (termasuk kita) adalah bagaimana melatih dan mengantarkan anak-anak asuhnya agar mampu mengembangkan gagasan dan imajinasi secara bebas agar nantinya tidak mati muda.
Menurut gambaran Al Qur’an, kalimat thayyibah, ide yang baik, pikiran yang otentik adalah bagaikan pohon yang baik, akarnya menghujam di dalam bumi (ada kesinambungan dengan masa lalu) dan absah atau valid. Dan itu adalah yang dimaksud dengan ide pemikiran, gagasan memiliki akar pada tradisi dan budaya. Dan “Wafar’uha fi sama’” (dahannya menjulang tinggi ke langit), maksudnya pemikiran tersebut harus mampu memahami zaman yang paling kini.
Kenapa harus pengkaderan ?
Menginjak usia himas yang mendekati satu dasawarsa, himas banyak meninggalkan jejak perjalanan (agenda kegiatan, program, dll) da karir sejarah yang patut dibanggakan. Dalam perjalanannya sampai sekarang, himas terlihat masih mampu menjaga eksistensi dan dinamika gerakannya. Namun di balik kebanggaan dan perestasi yang tidak diragukan itu, ternyata himas juga tidka bebas dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Kritik, gugatan, komentar, saran, dan harapan, sering dilontarkan oleh banyak kalangan kepada himas.
Eksistensi kader dalam sebuah organisasi menempati posisi yang sangat penting dan strategis. Untuk menciptakan suksesi dan regenarasi kepemimpinan secara lancar dan berkesinambungan, sangat membutuhkan tersedianya kader-kader pemimpin yang representatif untuk ditampilkan.
Hajat kebutuhan himas terhadap keberadaan kader tidak bisa dipungkiri lagi adalah sangat besar dan tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini mengingat kesadaran himas sendiri, bahwa cita-cita dan tujuan organanisasi tidak akan bisa diwujudkan dalam tempo yang singkat oleh satu angkatan generasi. Tapi sesuai dengan tujuan jangka panjang dan besarnya cita-cia tersebut, maka untuk mewujudkannya membutuhkan proses dan tahapan jenjang yang berkesinambungan yang bertumpu pada generasi dan kader zamannya.
Dalam setiap tahap dan periode, keberadaan kader sangat diperlukan sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaharuan himas. Di samping itu, tersedianya kader-kader yang mapan secara berkesinambungan akan menjadi salah satu parameter keberhasilan himas dalam menata pembinaan kader dan pengembangan organisasi secara akseleraif, yang sesuai dengan dinamika dan tuntutan perembangan zaman.
Problem krisis kader merupakan sebuah masalah yang serius, dan sangat mendesak untuk segera ditangani dengan sungguh-sungguh. Implikasi lebih lanjut dari krisis kader seperti ini, akan menurunkan nilai dan kualitas organisasi itu sendiri dalam aktifitas dan dinamikanya. Karena pada dasarnya, krisis kader tidak hanya terbatas pada minimnya jumlah kader yang dibutuhkan, tetapi juga menunjukkan kurangnya kualitas dan kesiapan kader untuk menerima regenerasi kepemimpinan. Oleh sebab itu, signifikansi kader sesungguhnya terletak pada kualitas nilai-nilai lebih dalam pelbagai aspek untuk menyangga dinamika organisasi.
Merujuk pada asal dan makna katanya, kader dalam bahasa Perancis adalah Cadre, yang berarti bagian inti tetap dari suatu resimen, atau kelompok elit yang terpilih karena terpilih dengan baik. Sebagai kelompok elit yang terpilih dan terlatih dengan baik, maka kader tidak bisa dilahirkan dalam tempo yang singkat (instan), tanpa melalui proses pelatihan dan kaderisasi yang mapan. Kader-kader tersebut terbentuk melalui pembinaan dalam ajang pelatihan dan wahana proses didik dri yang terencana dan kontinyu (pengkaderan formal, non formal, dan informal).
Forum pengkaderan sebagai wahana didik diri dan pelatihan yang intensif, bisa dijadikan sarana untuk menyeleksi kader-kader dalam aspek kualitas dan kapasitas kepemimpinannya. Forum pengkaderan juga akan turut memperlancar terjadinya proyeksi “diversifikasi” dan “transformasi’ kader untuk setiap jenjang kepemimpinan.
Mengacu pada paparan tadi, yampaknya sudah sangat mendesak bagi himas untuk segera menangani dan membenahi problem kaderisasi dan kepemimpinan tersebut. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk bagi masa depan organisasi, beberapa point di bawah ini kiranya perlu mendapat perhatian yang seksama, sekalipun poin-poin ini baru merupakan sebagian dari upaya dan langkah untuk mengatasi krisis kader, demi terciptanya alur generasi kepemimpinan yang lancar.
Pertama, himas harus melakukan inventarisasi kader-kader muda potensial secara selektif. Kedua, intensifikasi kegiatan-kegiatan pengkaderan secara integral untuk membina dan mengembangkan lebih lanjut potensi kader-kader tadi dalam berbagai disiplin ilmu dan skill keorganisasian. Ketiga, membangun lembaga dan pusat pengkaderan (training centre) sebagai aktivitas, penelitian, dan pengembangan kader-kader muda himas. Keempat, mendinamisasikan “transformasi” dan “diversifikasi” kader, untuk menyalurkan dan mengembangkan potensi setiap kader, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan bakatnya.
Pada praksisnya, upaya pembenahan ini dapat dilakukan dengan mendelegasikan peran dan tanggung jawab keorganisasian kepada kader-kader muda potensial tersebut. Dengan langkah-langkah ini pula secara langsung atau tidak, himas telah turut membentuk “kader-kader lepas” yang bisa diproyeksikan pada berbagai profesi dan dunia kegiatan di luar Himas.
Demikian beberapa gagasan yang tertuang dalam tulisan ini, sebagai bentuk partisipasi pemikiran untuk membenahi masalah kaderisasi di himas. Dengan harapan dapat menjadi agenda yang perlu dibicarakan lebih lanjut, atau setidaknya menjadi perhatian bersama seluruh keluatga besar himas akan arti penting dari keberadaan kader begi regenerasi kepemimpinan.
Sebagai penutup tulisan ini, meminjam Ahmad Wahib :”Untuk kita kegagalan himas adalah kegagalan satu generasi. Keberhasilan Himas adalah keberhasilan satu generasi. Himas yang lahir masa kini, bukan masa lalu. Dia ada kini buat nanti. kita desakkan perubahan-perubahan. Kita jelaskan kemungkinan-kemungkinan. bagi suatu senyum kecerahan”
* Penulis adalah Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus anggota Himas surabaya.
Himas gai dapuan sai-sai, gai dapu pendiri himas, gai dapu alumni, atau dapu ketua prsedium. Tapi dapuan te memon……..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar