Oleh : Muarif *
“kalau takut dilebur ombak, jangan berumah di tepi pantai”. Begitulah pepatah mengatakan. Artinya, kalau tak berani ambil resiko, janganlah berbuat sesuatu, karena berbuat sesuatu selalu ada resikonya. Namun, kita sering lupa, bahwa tidak berbuat sesuatu pun sesubgguhnya ada resikonya; ditinggalkan waktu dan dilupakan oleh sejarah. Gerbong waktu tidak akan pernah berhenti, ia terus berjalan mengangkut berbagai muatan. Pilihannya tunggal, kita harus masuk. Dan di sana, suka atau tidak suka, sudah menunggu beragam masalah.
Dalam keseharian, kalau boleh analogikan sebagai orang yang terbiasa hidup di laut bahwa masalah hidup tak ubahnya laksana ombak yang menebas pantai, tak pernah berhenti sesaat pun sejak semula jadi. Jangankan berhenti, jeda pun tidak. Adakalanya ombak itu kecil, ketika itu dia menjadi “ayunan” anak-anak nelayan, tapi tempo-tempo ombak itu besar dan berubah menjadi monster (tsunami).
Begitupun kehidupan manusia. Berkejar-kejaran, timbul-tenggelam, naik-turun, ke tengah-ke tepi. Ada daur ulang yang tak pernah berubah, selalu berulang walau tak pernah sama. Dan ombak itu selalu sajabergulung-gulung berlarian menuju pantai, menerpa, membelai, kadang menerjang, sepi sesaat, tapi kemudian datang lagi dan datang lagi.
Waktu adalah kawan sekaligus musuh terbesar manusia. Dia datang tanpa salam dan pergi tanpa basa-basi. Waktu tidak akan pernah mau berkompromi dengan manusia, dan tidak akan pernah tertaklukkan. Hari demi hari, pekan demi pekan, dan tahun demi tahun, terus saja berlalu. Kelahiran dan kematian pun kemudian lalu-lalang, memperkokoh keperkasaan sang waktu.
Meski hidup manusia terkungkung dalam kekuasaan waktu, manusia harus tetap melakukan sesuatu untuk membuat waktu tidak “semena-mena” memperpendek sebuah kehidupan dan memupus sebuah harapan. Harus ada upaya perlawanan agar setiap manusia dapat “memperpanjang umurnya”. Sesuatu yang dapat memperpanjang umur itu adalah karya. Sebuah karya lahir dari proses pemikiran, pemahaman, dan pencarian makna. Dengan karya itu seorang manusia yang telah pergi tidak akan pupus, tapi terus disebut, entah dengan pujian entah pula dengan makian.
Di tubuh himas telah banyak tim kreatif handal; ada Rina Hafid (spesialis blogger), ada Syamsud Dhuha (spesialis perhubungan) dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, jika itu ditingkatkan dan ditransformasikan pada yang lain, tentu akan menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi himas secara keseluruhan.
Untuk kawan-kawan yang lain tidak ada kata terlambat, dan jangan sampai terlambat, hingga menunggu di luar gelanggang, baru kemudian memandang ke arena dan mulai berkicau. Memang tidak setiap artikel atau sebuah tulisan atau buku misalnya harus menyelesaikan semua masalah. Tapi paling tidak dengan kretaifitas (entah menulis atau semacamnya) sebagai tanda bahwa kita masih hidup.
Sebagai anak dari kepulauan dan bagian dari anak negeri, kita sesungguhnya berutang pada sejarah. Tradisi keberaksaraan atau tradisi menulis adalah hal yang ikut membesarkan kegemilangan Tanah Air, bahkan tercatat dengan tinta emas. Jika kita menyingkap bilik sejarah, maka kita dapat menyaksikan dan merasakan bahwa gemuruh agenda intelektual itu sudah berlangsung sejak lama. Tanda sejarah itu diberikan melalui keluasan pikiran, dan kesantunan tutur bahasa. Itu terlihat pada banyaknya karya-karya tulisan yang tersebar di mana-mana. Ada sejumlah penulis yang tidak perlu saya sebutkan di sini dari generasi terdahulu hingga ke generasi sekarang ini. Sejarah yang demikian agung itu membuat saya dan kita semua berutang, dengan terus berkreatifitas, saya dan kita semua berharap dapat “mencicil” seberapa pun yang kita mampu.
Kalau boleh jujur, terus terang saya “respek’ atas gagasan para alumni untuk meluncurkan buku, mungkin ini baru tahap awal, tapi itu tidak terlalu masalah buat saya, karena paling tidak gagasan muntuk meluncurkan buku adalah karena lahir dari kegelisahan yang demikian kompleks. Dan, kita berharap dari buku yang akan diluncurkan itu bisa menjadi “pangalatto’” : pertama, agar generasi-generasi mendatang bisa “membaca” dan menulis sesuatu yang “berbeda”. Kedua, agar tumbuh semangat berkarya (tidak hanya meratapi sulitnya hidup) sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada generasi mendatang. Dengan menulis buku semacam itu, barangkali sebagai upaya ingin melakukan sesuatu yang “lain”, tapi mungkin menurut sebagian orang sama sekali “tidak menarik”. Namun sekali lagi, kita hanya ingin memberikan makna yang lain dalam wajah peradaban kita.
Lewat tulisan ini pula, saya ingin memprovokasi beberapa kawan-kawan yang selama ini kedudukannya hanya sebagai pembaca gagasan orang lain, agar secara serius menggeluti dan menulis gagasan secara utuh. Provokasi ini saya lakukan karena beberapa dari mereka telah “mandul”: tidak lagi berkarya, dan atau memang mereka tidak pernah berkarya.
Menulis atau pun menerbitkan buku tidak mesti dimulai dari “pusat”. Kini saatnya harus dimulai dari “pinggiran”. Hanya ada dua pilihan; KREATIF ATAU MATI !
* Penulis adalah orang biasa yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar